Langsung ke konten utama

Yogyakarta Yang Benar-Benar Istimewa


Pulang ke kotamu
Ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat,
Penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgia
Saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama suasana Jogja.

Lantunan lagu dari Kla Project ini terus-menerus menabuh gendang telingaku dalam perjalanan dari Stasiun Pasar Senen, Jakarta, menuju Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Di dalam kereta tidak terlalu padat, mungkin karena belum waktu liburan. Tapi, aku tetap gak bisa tidur dengan nyenyak, karena posisi tidur di dalam kereta itu serba salah. Tidur sambil duduk, pegel. Tidur sambil rebahan, kaki bakal kesemutan karena ditekuk. Alhasil, hanya bisa tidur-tidur ayam. Perjalanan ini sendiri menempuh waktu 8 jam, jadi mending terus terjaga sambil mendengar musik.


Terkenal sebagai kota yang masih lekat dengan tradisi, Yogya selalu ramai didatangi oleh turis, baik turis mancanegara maupun turis domestik seperti aku. Hal menarik lainnya adalah, harga makanan di Yogya tuh murah banget. Beda dengan beberapa kota lain di Indonesia. Tapi, harga makanan murah ini juga punya efek buruk, loh.

Saking murahnya makanan di sini, kamu jadi gak sadar udah mengeluarkan uang banyak untuk mencoba berbagai jenis makanan berbeda. Yang awalnya pengen nyoba gudeg doang, akhirnya malah mencoba bakmi jawa, soto, dan beragam kuliner lainnya. Gak terasa aja gitu mengeluarkan uang karena harga makanannya murah-murah.

Yogyakarta juga termasuk salah satu kota yang udah kukunjungi saat liburan pada bulan 12 kemarin. Ketika pertama kali mengunjungi Yogyakarta, aku langsung dibuat kagum dengan ketaatan masyarakatnya akan peraturan. Baru di kota inilah aku melihat warga yang menunggu lampu lalu lintas tepat di belakang zebra cross. Satu hal yang sangat sulit dilihat di Medan.

Sampe bisa jadi panggung bagi seniman | Sumber

Di Medan, lampu lalu lintas itu bagaikan ajang untuk mencuri start. Kalau udah ada yang mulai berhenti di depan zebra cross, yang lain pun ikutan dan gak mau berhenti sejajar dengan orang sebelumnya. Maunya berhenti di depan orang yang berhenti di depan zebra cross. Jadi, makin lama orang yang berhenti akan semakin jauh di depan zebra cross. Kalau perlu berhentinya di depan zebra cross arus lain.

Money can't buy attitude | Sumber

Sementara di Jogja, mereka benar-benar gak mau melanggar peraturan lalu lintas. Aku udah pernah nyoba berhenti di depan zebra cross dengan harapan kalau pengendara lain akan mengikuti kelakuanku. Nyatanya, tidak. Aku dibiarkan melanggar peraturan sendirian. Rasanya tuh malu dan nyesek banget. Asli. Seperti orang yang ditinggal pas lagi sayang-sayangnya.

Dari kabar yang kudengar dari teman yang lagi kuliah di Jogja, para polisi di Jogja juga gak akan memberhentikan pengendara seenaknya. Atau melakukan aksi supertrap seperti tiba-tiba muncul dari balik semak dan mengejutkan pengendara. Selama kamu menaati peraturan lalu lintas dan mengenakan kelengkapan berkendara, kamu tidak akan diberhentikan tiba-tiba oleh polisi. Kecuali emang ada razia besar-besaran.

Polusi suara juga termasuk minim di Yogyakarta. Ketika lampu merah hendak menuju hijau, suara klakson gak akan saling bersahutan bagai sangkakala kiamat. Para pengendara dengan sabar menunggu giliran untuk maju. Mungkin, hal ini sedikit banyak disebabkan karena ketiadaan angkot di Yogya. Tau sendiri kan angkot tuh demen banget main salip-salip dan gak sabaran setiap di lampu merah. Padahal, mereka juga suka berhenti di sembarang tempat dan memicu kemacetan. Kayak angkot di Medan, tuh. Kelakuan para sopirnya saat berkendara bisa membuat Vin Diesel merasa malu.

Keramahtamahan warga Yogyakarta juga patut diacungi empat jempol. Suatu ketika, aku pernah bingung dengan arah yang ditunjukkan oleh GPS. Aku pun berhenti di pinggir jalan sambil terus memastikan arah mana yang akan diambil. Mungkin karena melihat kebingunganku, seorang bapak-bapak mendatangi dan bertanya ada apa. Setelah aku menjelaskan kondisi yang aku alami, dia langsung memberikan arah yang benar. Aku sangat jarang mendapatkan bantuan petunjuk arah di mana malah warga yang berinisiatif untuk bertanya duluan.


Aku juga pernah mengalami bantuan lainnya. Masih mengenai kebingungan akan arah, aku berhenti di sebuah warung untuk bertanya arah. Nah, ketika itu ada seorang sopir pengangkut barang-barang yang sedang menurunkan bawaan ke warung itu. Mungkin dia menyadari kalau aku kurang paham dengan penjelasan yang diberikan oleh pemilik warung. Dia lalu kembali ke truk, mengambil kertas dan pulpen, lalu menggambarkan arah yang benar kepadaku. Benar-benar menggambar dengan tambahan petunjuk-petunjuk detil di sekitarnya. Rasanya, aku pengen nangis dan memeluknya saat itu juga. Tapi, urung kulakukan karena bukan muhrim.

Gak heran Yogyakarta memiliki jargon Jogja Istimewa. Perbuatan warganya sangat mencerminkan hal itu. Jadi, kamu gak perlu takut bakal nyasar kalau berada di Jogja dan tidak bisa mengakses Google Maps. Warga sekitar akan dengan senang hati membantumu.

Untuk tempat wisatanya sendiri, rasanya belum berkunjung ke Jogja kalau belum mendatangi Malioboro dan berfoto di depan nama jalannya. Kayaknya, ini satu-satunya papan nama jalan yang bakal membuat papan nama jalan lain iri. Karena berkunjung ke Malioboro di saat bukan momen liburan, aku mengira kalau Malioboro akan sepi. Ternyata, tidak. Gak peduli hari libur atau tidak, weekend atau tidak, Malioboro tetap ramai dikunjungi. Biasanya, mulai dari jam 7 sampai jam 11, beberapa pertunjukan jalanan akan digelar di Jalan Malioboro. Wajib banget untuk disaksikan.


Cuma, jangan berharap mendapatkan makanan berharga murah di sini. Rata-rata makanannya emang jauh di atas tarif makanan normal untuk ukuran Jogja. Tapi, tarif yang terbilang “mahal” karena berada di lokasi wisata ini, bakal terasa biasa saja jika dibandingkan dengan makanan di kota-kota besar lainnya, dan bukan di lokasi wisata. Di Malioboro, kamu juga bisa membeli berbagai oleh-oleh. Mulai dari makanan sampai pakaian. Pinter-pinter aja nawar harganya.


Pengamennya juga totalitas banget, loh. Mereka menolak dibayar sebelum menyelesaikan lagu. Suara dan teknik bermain musik mereka juga mantep banget. Bakal terhibur, deh.

Tempat lain yang harus kamu kunjungi di dalam kota Jogja adalah Tamansari. Lokasi ini adalah bekas keraton di jaman dulu. Kamu bisa melihat pemandian untuk para selir, dan juga Masjid Soko Guru yang berbentuk lingkaran. Kalau kamu penyuka sejarah, gak ada salahnya untuk memakai jasa guide yang ada di sekitar taman sari. Dia akan menuntun dan menjelaskan sejarah Tamansari kepadamu. Guidenya emang rada gak resmi sih. Seandainya kamu didatangin sama pria paruh baya yang menawarkan untuk mengantar ke Tamansari, ketahuilah kalau dia adalah guide. Jadi, setelah tour berakhir, jangan lupa untuk menyelipkan uang terimakasih. Besarannya sih seikhlas kamu, tapi jangan hanya ngasih Rp 10 ribu juga.

Dok. pribadi
Kalau kamu merasa gak butuh jasa guide, jangan ragu untuk menolak jasanya. Cuma, kamu juga harus siap-siap kehilangan arah karena jalur di Tamansari itu adalah jalur yang melintasi rumah warga. Berasa masuk ke labirin kalau kamu gak hafal jalan. Buat kamu yang kesini karena mau hunting foto keren, datanglah saat bukan hari libur dan saat weekday. Jadi, kamu gak perlu antri untuk berfoto di spot yang Instagramable, atau takut hasil fotomu akan “dikotori” oleh kehadiran pengunjung lain. Tamansari biasanya mulai ditutup jam 3 sore. Setelah lewat jam tersebut, kamu gak akan bisa masuk ke area pemandian. Cuma, ke beberapa tempat lainnya masih diperbolehkan sampai Maghrib. Jadi, lebih baik kamu datang ke Tamansari sejak jam 11.

Dok. pribadi

Satu lagi tempat yang bisa kamu kunjungi ketika berada di Yogyakarta adalah alun-alun. Alun-alun Yogya sebenarnya ada dua. Yaitu alun-alun utara dan selatan. Cuma, yang lebih terkenal adalah alun-alun selatan. Tempat ini juga selalu ramai setiap malam, dan akan semakin ramai ketika weekend dan hari libur.Rasanya, semua orang ditumpahkan ke situ. Lebih baik kamu mulai datang sekitar jam lima sore. Kalau datengnya jam tujuh ke atas, siap-siap aja deh bakal terjebak macet.

Kalau udah sampai di Alun-Alun Kidul, jangan sampai melewatkan tantangan untuk melewati dua beringin kembar yang ada di tengah-tengah lapangan, dengan mata tertutup. Mitosnya sih, kalau kamu berhasil melakukan Masangin, ritual melewati dua beringin kembar ini, maka segala keinginanmu akan terkabulkan.


Kelihatannya sih emang sepele banget. Tinggal berjalan lurus dengan mata tertutup. Tapi, pada prakteknya, hal ini susah banget dilakukan. Para turis, termasuk aku, lebih sering berbelok ke kanan atau ke kiri dan tidak melewati celah di antara kedua pohon. Kalau gak punya penutup mata dan gak mempercayai matamu untuk tetap tertutup sendiri, kamu bisa menyewa penutup mata dengan tarif Rp 5 ribu saja. Bebas mau mencoba sampai berapa lama.

Kalau udah capek mencoba dan kesel karena gak berhasil juga, gak usah misuh-misuh. Mending istirahat dulu sambil makan beragam cemilan di sekitar alun-alun. Mulai dari jagung bakar, sate, wedang ronde, dan banyak kuliner jalanan lainnya. Bisa juga menaiki odong-odong berkelap-kelip yang banyak sekali terdapat di sekeliling alun-alun.

Alun-alun utara juga punya pohon beringin kembar seperti yang ada di selatan. Tapi, alun-alun ini tak seterkenal saudaranya. Lapangan alun-alun utara Jogja lebih sering dipakai sama warga untuk bermain bola dan kegiatan lain.

Kamu juga bisa memasuki area keraton Jogja. Tapi, aku sendiri gak berkunjung ke situ, jadi gak bisa bercerita apa-apa. Kayaknya, sih, hanya itu aja wisata populer yang ada di dalam kota Jogja. Kalau kamu tau tempat wisata populer yang ada di dalam kota Jogja, boleh dong dibagikan lewat kolom komentar.

Sampai jumpa di postingan berikutnya, di mana aku akan menceritakan wisata populer yang ada di luar kota Jogja.

Salam.

Komentar

  1. Yogyakarta emang keren, orang-orang yang taat pada aturan dan tatanan tradisi membuat loe menghargai mereka hehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hobi yang Dibayar Tidak Semenyenangkan Itu

Dulu aku pikir pekerjaan yang paling membahagiakan di dunia itu adalah hobi yang dibayar. Karena, kita dibayar untuk melakukan sesuatu yang kita sukai. Pasti menyenangkan banget. Para motivator dan orang sukses pun mengamini hal ini. Sumber foto Tapi, seiring dengan berjalannya waktu, aku sadar kalau kalimat motivasi itu perlu sedikit diubah. Pekerjaan yang paling membahagiakan itu bukanlah hobi yang dibayar, tapi hobi yang dibayar dengan pantas. Melihat diriku yang sekarang ini, aku nggak menyangka kalau hobiku menulis sejak SMA akan menuntunku bekerja di salah satu media digital. Dari profesi ini aku bisa menafkahi kehidupanku. Hobi yang dibayar. Tapi, lama kelamaan aku sadar, kalau apa yang kuberikan tidak selalu sebanding dengan apa yang diberikan oleh perusahaan kepadaku. Aku baru menyadari kalau pekerja itu mempunyai beberapa hak yang harus disuarakan dengan lantang. Mulai dari jam kerja, uang lembur, waktu cuti, BPJS, dan masih banyak lagi. Tidak melulu hanya m

Menyingkap Tabir: Tipe Orang yang (Mungkin) Kamu Temui di Aplikasi Kencan

Beberapa hari terakhir ini aku lagi keranjingan banget mencoba dua aplikasi kencan, Tinder dan Badoo. Dua aplikasi ini emang udah lama banget eksis, tapi aku baru nyoba untuk pertama kali gara-gara racun seorang teman. Selain itu, aku penasaran juga dengan cara kerjanya apakah emang beneran bisa dapat teman kencan atau cuma gimmick doang? Apa nggak takut gitu ketemu dengan orang yang baru dikenal dan rentetan pertanyaan lainnya di dalam kepala. Aplikasi yang pertama aku download adalah Badoo. Bingung juga gimana cara menyebut aplikasi satu ini. Bado? Badu? Bedu? Kok malah jadi kayak nama artis di Indonesia? Jangan-jangan ini aplikasi untuk mencari pelawak terbaik lagi. Sementara untuk Tinder, yaa kamu tau sendirilah gimana nyebutnya. Kedua aplikasi ini menerapkan in app purchases , yang artinya penggunaannya gak gratis-gratis amat. Badoo dan Tinder memang memberikan fitur pengguna gratis, cuma dibatesin banget kayak lagi di Korea Utara. Bahkan, untuk sebatas meli