Jakarta.
Entah kenapa, dari dulu
aku kurang suka dengan kota satu ini. Kota yang terkenal dengan kemacetan,
polusi, namun anehnya tetap memikat jutaan orang untuk mengadu nasib di sini.
Ketika pesawat yang
kutumpangi akan mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, cuaca siang hari
memperlihatkan dengan jelas gimana parahnya polusi di daerah Jakarta dan
sekitarnya. Langitnya tuh berwarna abu-abu kelam. Kontras banget dengan langit
biru yang ada di atasnya. Rasanya seperti melihat cabe-cabean yang mukanya putih, tapi lehernya keruh.
Dok. Pribadi
Ketika sudah memasuki “atmosfer”
ini, kamu memasuki sebuah lapisan yang mempunyai sebuah kekuatan tersendiri
untuk membakar dirimu dari dalam. Rasanya gerah terus. Jangan harap juga
bisa menyaksikan langit biru di daerah ini. Kamu hanya akan memandangi langit
yang berwarna abu-abu diselingi biru pudar. Untuk pertama kalinya juga, bibirku
kering dan berdarah sehingga terpaksa dicium cewek memakai pelembab bibir. Sekarang, aku mengerti
kenapa Wagub Sandiaga Uno dulu bela-belain memakai pelembab bibir di depan
wartawan. Cuaca Jakarta emang jahanam sekali.
Dari Soetta, aku langsung
ke Bekasi menuju kosan abang. Mayan, menghemat pengeluaran untuk biaya
penginapan. Rupanya, cuaca di Bekasi juga sama aja dengan Jakarta. Polusinya
parah dan gerahnya ampun-ampunan. Tapi, kotanya sendiri bagus, kok. Selama ini aku mengira kalau Bekasi adalah kota yang bener-bener terasing karena sering diasosiasikan sebagai planet. Ternyata, malah lebih keren dari Medan. Aku juga baru tau kalau ternyata Bekasi itu
masih merupakan Tanah Pasundan. Jadi, aku sering banget bertemu dengan beberapa
orang Sunda.
Satu hal yang aku suka
dari bercakap-cakap dengan oran Sunda adalah logat mereka yang sangat ramah. Hanya
mendengar mereka berbicara, rasanya kamu rela berserah penuh kepada mereka sambil berkata, "Aku milikmu, Kang". Mereka seperti benar-benar dapat dipercaya. Apalagi kalau ngomongnya
sambil senyum, adem banget tuh. Setidaknya, itulah yang ku alami.
Beda dengan di Medan.
Orang-orang di Medan tuh, kalau suaranya gak keras, bukan ngobrol namanya, tapi
mengigau. Udah tampang keras, suara juga keras, bikin orang yang mendengar
langsung mengira ada perkelahian antar kampung.
Moda transportasi di Jakarta juga berbeda jauh dengan Kota Medan. Kalau di Medan, transportasi itu adalah angkot, becak motor, taksi, damri, ojek online, dan cowok yang dimanfaatkan untuk dijadikan supir. Cara memakai transportasi juga tidak terlalu susah. Untuk angkot, kamu tinggal memperhatikan nomor dan warna angkot saja. Sementara, untuk sistem transportasi lain, kamu bisa memesan langsung.
Di Jakarta, pilihan transportasinya tuh banyak banget. Ada kopaja, metromini, bajaj, KRL, ojek online, dan Transjakarta. Karena penasaran, aku pun mencoba moda transportasi KRL dan juga Transjakarta.
Melihat orang dengan wajah diselimuti masker, telinga disumbat earphone, adalah hal yang biasa banget di dalam KRL. KRL sendiri paling banyak digunakan oleh para pekerja yang tinggal di luar kota, tapi bekerja di Jakarta. Jadi, kalau kamu naik KRL di pagi hari atau di jam pulang kantor, siap-siap aja deh jadi sarden kaleng. Di jam-jam itu, kondisi KRL benar-benar penuh sesak. Kondisi yang selama ini hanya kusaksikan di video-video viral, kini benar-benar kualami. Dorong-dorongan untuk mendapat secuil tempat berdiri, rela mereka lakukan.
Dan ketika semua penumpang berebutan keluar, rasanya seperti melihat penjagal yang tengah membelah usus ayam dan tainya keluar semua.
KRL sendiri punya banyak banget stasiun, dan beberapa stasiun transit. Jadi, kalau jalur kereta yang kamu
naiki pertama kali tidak langsung menuju stasiun tujuan, kamu bisa berganti
KRL di stasiun transit. Biaya naik KRL juga murah banget loh. Selama kamu tidak keluar dari stasiun, kamu bisa mondar-mandir sesuka hati, yang penting turunnya tetep di stasiun tujuan. Berkisar Rp 3000 - Rp 10000 gitu.
Seperti kisah cinta,
pindah-pindah itu emang gak nyaman pada awalnya. Kamu harus mencari-cari jalur
yang benar, menunggu kereta datang, memastikan gak salah kereta, dan harus
berebutan dengan penumpang lain. Ribet memang.
Tapi, kalau udah
terbiasa, bakal gampang banget kok. Yang gak enaknya naik KRL adalah, situasi
yang penuh sesak. Kalau masih pagi, sesaknya dipenuhi oleh orang kantoran.
Wanginya pun masih enak. Penuh parfum. Tapi, kalau padat di siang atau sore hari,
siap-siap aja deh dengan beragam aroma yang bercampur keringat. Makanya, orang-orang pada memakai masker untuk mencegah bulu hidung mereka rontok karena tak tahan dengan asam yang dikeluarkan oleh bulu ketek.
Kalau KRL sudah cukup
ribet, maka menaiki Transjakarta adalah mother of ribet. Namanya sih emang Transjakarta, tapi rutenya melewati seluruh
daerah Jabodetabek. Karena itu TJ mempunyai banyak sekali jalur. Melihat petanya aja udah
bikin puyeng duluan. Ketika naik TJ, aku benar-benar mengandalkan bantuan temen. Gak berani naik sendiri. Kalau naik KRL masih berani nyoba naik sendiri, kalau TJ aku sama sekali gak berani. Serem.
Liat aja deh itu bentuknya. Udah kayak cacing yang berevolusi menjadi organisme lain yang bersiap menyerang bumi.
Itu dulu deh pengenalan perjalanan Jakarta dariku. Tunggu cerita berikutnya, ya.
"Cowok yang dimanfaatkan untuk dijadikan supir" itu bukan pengalaman pribadi, kan? Wahahaha.
BalasHapusYah, jangankan lu yang pendatang, Man. Saya aja nih setiap naik TJ selalu mumet sama rutenya. Sedikit-sedikit nanya petugas mesti transit di halte apa. Lebih, lebih, dan lebih rumit dari KRL. :(
Wah, yang warga aslinya juga gak hapal ternyata ya. hahaha. emang ribet banget sih itu jalurnya
HapusHahahahaha. Kok gue lbh fokus ke kalimat - Hanya mendengar mereka berbicara, rasanya kamu rela berserah penuh kepada mereka sambil berkata, "Aku milikmu, Kang".-
BalasHapusGue tau lo ga doyan eneng geulis :((
Iyanih. kayaknya orientasi gua mulai berubah. haha. susah sih dapetin yang ceweknya
Hapus