Langsung ke konten utama

Perjalanan Kedua: Kota Tua, Katedral, dan Istiqlal

Sebagai salah satu pusat pemerintahan di jaman Belanda, Jakarta juga mempunyai berbagai bangunan peninggalan Belanda. Salah satunya berada di daerah Kota Tua. Di tempat ini, kamu bisa mengulik gimana sih wajah Jakarta tempoe doeloe. Bagaimana perkembangannya dari sebuah kampung besar menjadi kota metropolitan seperti sekarang ini.

Dok. pribadi

Ada berbagai museum yang bisa kamu masuki, seperti museum Fatahillah, museum Bank Indonesia, museum wayang, dan beberapa museum lainnya. Kalau udah capek keluar masuk museum, kamu bisa bersantai di halamannya.

Btw, kamu belum baca cerita perjalanan pertamaku di Jakarta, kamu bisa membacanya di artikel ini.

Bagian luas ini sering dipakai para anak muda untuk berkumpul sambil berfoto-foto kece. Ada juga yang menaiki sepeda warna warni dan bertingkah layaknya kompeni yang lagi kasmaran sama warga lokal. Burung merpati juga sering mampir ke halaman Kota Tua untuk mencari makan dari cemilan pengunjung. Memang lucu sih, tapi hadirnya burung merpati membuatmu harus ekstra waspada agar tidak terkena mortar (baca: eek merpati) dari atas. Kecuali kamu emang penyuka shampoo yang masih alami.


Bisa make sepeda untuk berkeliling | Dok. pribadi

Siap-siap dengan eek merpati | Dok. pribadi

Di beberapa bagian Kota Tua juga terdapat area pertunjukan kreatif. Ada pemusik jalanan yang unjuk kemampuan, ada pekerja seni yang berpura-pura menjadi patung dan bisa diajak foto bareng, ada juga yang siap melukis tubuhmu dengan tato temporer hingga permanen.


Berdasarkan buku The Jacatra Secret yang pernah kubaca, beberapa area di Jakarta dibangun dengan campur tangan Freemason, termasuk di daerah Kota Tua. Buku ini juga membahas mengenai simbol, patung, dan berbagai tanda lainnya di Kota Tua yang erat kaitannya dengan Freemason. Untuk lebih lengkapnya, kamu bisa beli bukunya. Aku juga udah berusaha mencari tau beberapa petunjuknya, dan emang bener sih. Benda-benda tersebut terpajang di daerah Kota Tua.

Bulan 12 kemarin, aku udah sempat main ke Kota Tua ditemani sama Abon. Tapi, datangnya sekitar jam 3, sementara museum-museumnya pada tutup jam 5. Jadi, waktu berkunjungnya mepet banget. Aku gak sempat mengeksplorasi semua bagian dari museum. Belajar dari hal itu, hari Senin (16/4), dengan semangat ‘45, aku berangkat dari Bekasi menuju Stasiun Jakarta Kota lebih pagi. Harapannya, aku bisa menjelajahi semua isi museum dengan puas.


Dok. pribadi

Sayangnya, ada satu kesalahan sepele namun fatal yang kulakukan, yaitu tidak memastikan jadwal buka. Ternyata, kebanyakan museum di Jakarta, termasuk di Kota Tua, jam bukanya adalah hari Selasa-Minggu. Jadi, hari Senin museum ditutup untuk pemeliharaan. Akhirnya, aku hanya bisa terdiam di pintu masuk museum Fatahillah. Udah bela-belain datang cepat, berdesak-desakkan dengan penumpang di KRL, panas-panasan menuju Kota Tua, eh taunya malah tutup. Rasanya tuh kayak fallin in love with people we cannot have.

Akhirnya, aku hanya berkeliling daerah Kota Tua sampai capek. Dari area Fatahillah, aku berjalan kaki menuju Stasiun Jakarta Kota, kemudian balik lagi ke Fatahillah, dan begitu terus berulang-ulang sampai tahu goreng tidak lagi dibikin dadakan. Tapi, bukan cuma aku doang yang kecele karena museum gak buka. Ada beberapa pengunjung lain, terutama bule, yang kecewa karena gak bisa masuk museum. Sepertinya, jadwal buka ini masih harus disosialisasikan.

Setelah capek muter-muter, aku masuk ke sebuah kafe yang bernama Warung Umak untuk makan dan minum sambil menuliskan cerita menyedihkan ini. Makanan disini layaknya kafe pada umumnya. Ada kopi, cemilan, sampai indomi. Aku sendiri memesan Vanila Caramel. Harganya 25k. Rasanya...yah lumayanlah. Mirip Pop Ice gocengan. Untungnya aku minum sambil ngeliatin bule cakep, jadi rasa dongkol akan harganya sedikit terobati. Untuk makan, aku lupa memesan menu makanan apa. Kali ini rasanya lumayan dan cukup mengenyangkan juga.


Warung Umak | Dok. pribadi

Selesai makan, aku melirik jam yang masih menunjukkan jam 2 siang. Aku pun stress karena gak tau lagi mau kemana. Mau pulang, abang belum sampe di kosan. Masa aku ngejogrok doang di sini sampe jam 5? Aku lalu keluar dari kafe dan kembali berjalan tak tentu arah. Kali ini aku benar-benar melangkah gak menentu. Memang masih muter-muter, tapi di area yang lebih jauh. Hasilnya? Aku nyasar. Setelah bertanya kepada warga sekitar, aku akhirnya bisa kembali ke arah Kota Tua.

Beruntung, sebelum makin kecewa dengan perjalanan hari ini yang asdfghjkl sekali, seorang teman blog, Imas, ngasi tau kalau Jakarta punya bus city tour yang bisa dinaiki secara gratis. Mendengar kata gratis, aku pun kembali semangat, energi kembali terisi penuh. Hidup gratisan!

Bus city tour ini akan berkeliling Jakarta dan membawa para penumpang ke objek wisata populer. Hebatnya lagi, meskipun gratis, para penumpang dipastikan untuk memiliki tempat duduk. Gak ada tuh yang namanya berdiri seperti di KRL atau busway. Begitu kursi penuh semua, maka bus akan langsung berangkat. Aku pun menaiki bus dengan tujuan akhir Masjid Istiqlal.

Bus city tour ini sendiri punya beberapa rute, yang tidak bisa kujelaskan dengan rinci karena aku juga gak paham banget. Intinya, kalau bus udah sampai di stasiun akhir tapi kamu masih pengen lanjut jalan-jalan lagi, kamu bisa menaiki bus dengan rute berikutnya. Ada yang menuju Monas, ada yang menuju Blok M, hanya menuju hatimu aja yang gak termasuk dalam rute.

Setelah sampai di daerah Istiqlal, aku melangkahkan kaki terlebih dahulu ke Gereja Katedral. Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral memang berhadap-hadapan dan sebenarnya menjadi bukti kalau Indonesia emang Bhinneka Tunggal Ika. Sayangnya, persatuan ini mulai rusak ketika agama digunakan untuk berpolitik. Miris memang.

Untuk menyeberang, ada tombol yang bisa ditekan supaya lampu berubah merah untuk pengguna kendaraan, dan pejalan kaki bisa menyeberang dengan aman. Sebuah fitur yang baru pertama kugunakan, karena di Medan gak ada. Yang ada cuma tombol lampu darurat karena listrik masih sering padam di sana.

Karena bukan jam ibadah, aku awalnya mengira Katedral hanya dimasuki oleh turis. Rupanya, ada beberapa jemaat yang lagi berdoa di sini. Sempat membuatku malu juga, sih. Akhirnya, aku pun menyempatkan diri berdoa juga.


Dok. pribadi

Dok. pribadi

Dok. pribadi

Setelah itu, aku pergi ke Istiqlal. Lagi-lagi, supaya lebih mudah menyeberang, aku memencet tombol lampu lalu lintas. Fasilitas yang dengan norak kugunakan, karena aku memencetnya berkali-kali.

Memasuki area Istiqlal, aku langsung ditawarin plastik oleh beberapa bocah. Katanya sih untuk tempat alas kaki karena gak boleh membawa sepatu ke dalam area masjid. Karena hanya akan berkeliling saja dan tidak masuk ke dalam Masjid, aku pun menolak tawaran tersebut.


Dok. pribadi

Setelah berkeliling, aku baru sadar kalau Istiqlal tuh gedenya minta ampun. Berdasarkan keterangan di peta, Istiqlal tidak hanya kayak masjid biasa untuk menampung jemaah yang beribadah. Tapi, ada juga beberapa ruangan seperti kantor dan perpustakaan.


Dok. pribadi

Dok. pribadi

Di jalan keluar dari Istiqlal, aku bertemu dengan seekor kucing jinak yang kata warga biasa dipanggil Domba. Kucing tapi dipanggil domba. Semoga dia tidak mengalami krisis identitas dengan panggilan ini. Sayangnya, aku lagi gak membawa makanan apapun yang bisa kubagi dengannya.


Kucing tapi domba

Aku bermain-main dengan kucing ini sekitar 15 menit, sebelum akhirnya berjalan kaki menuju Stasiun Juanda dan pulang menuju Bekasi.

Begitulah ceritaku yang awalnya menyedihkan, tapi berakhir dengan memuaskan. Sampai ketemu di cerita berikutnya yang membahas mengenai Planetarium, ya!

Komentar

  1. Masih lucu aja baca yang bagian ke museum hari Senin, lalu tutup. Padahal udah denger ceritanya sewaktu di Kaepci. Haha.

    Saya bacain dari yang pertama, terus Ragunan, habis itu yang ini deh. Tau-tau udah tiga aja. Wah, mantep nih. Arman jadi rajin nulis gini pas di Jakarta. Saya malah mendadak lagi males-malesnya nulis. :')

    Oke, lanjutkan yang Planetarium, Man~ Tapi sayangnya, saya cuma nyusul kemarinan itu. Halah. Kalau dipikir-pikir, berarti saya mesti jalan-jalan lagi nih biar ada sesuatu yang bisa saya ceritain kali, ya? Perjalanan bisa mendatangkan ide. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, nih. Lucu tapi ngenes gitu. Haha. Gua juga jadi rajin nulis sejak jalan-jalan doang, sih. Gak tau deh nanti pas udah kelar jalan-jalan masih rajin nulis apa gak.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hobi yang Dibayar Tidak Semenyenangkan Itu

Dulu aku pikir pekerjaan yang paling membahagiakan di dunia itu adalah hobi yang dibayar. Karena, kita dibayar untuk melakukan sesuatu yang kita sukai. Pasti menyenangkan banget. Para motivator dan orang sukses pun mengamini hal ini. Sumber foto Tapi, seiring dengan berjalannya waktu, aku sadar kalau kalimat motivasi itu perlu sedikit diubah. Pekerjaan yang paling membahagiakan itu bukanlah hobi yang dibayar, tapi hobi yang dibayar dengan pantas. Melihat diriku yang sekarang ini, aku nggak menyangka kalau hobiku menulis sejak SMA akan menuntunku bekerja di salah satu media digital. Dari profesi ini aku bisa menafkahi kehidupanku. Hobi yang dibayar. Tapi, lama kelamaan aku sadar, kalau apa yang kuberikan tidak selalu sebanding dengan apa yang diberikan oleh perusahaan kepadaku. Aku baru menyadari kalau pekerja itu mempunyai beberapa hak yang harus disuarakan dengan lantang. Mulai dari jam kerja, uang lembur, waktu cuti, BPJS, dan masih banyak lagi. Tidak melulu hanya m

Menyingkap Tabir: Tipe Orang yang (Mungkin) Kamu Temui di Aplikasi Kencan

Beberapa hari terakhir ini aku lagi keranjingan banget mencoba dua aplikasi kencan, Tinder dan Badoo. Dua aplikasi ini emang udah lama banget eksis, tapi aku baru nyoba untuk pertama kali gara-gara racun seorang teman. Selain itu, aku penasaran juga dengan cara kerjanya apakah emang beneran bisa dapat teman kencan atau cuma gimmick doang? Apa nggak takut gitu ketemu dengan orang yang baru dikenal dan rentetan pertanyaan lainnya di dalam kepala. Aplikasi yang pertama aku download adalah Badoo. Bingung juga gimana cara menyebut aplikasi satu ini. Bado? Badu? Bedu? Kok malah jadi kayak nama artis di Indonesia? Jangan-jangan ini aplikasi untuk mencari pelawak terbaik lagi. Sementara untuk Tinder, yaa kamu tau sendirilah gimana nyebutnya. Kedua aplikasi ini menerapkan in app purchases , yang artinya penggunaannya gak gratis-gratis amat. Badoo dan Tinder memang memberikan fitur pengguna gratis, cuma dibatesin banget kayak lagi di Korea Utara. Bahkan, untuk sebatas meli

Yogyakarta Yang Benar-Benar Istimewa

Pulang ke kotamu Ada setangkup haru dalam rindu Masih seperti dulu Tiap sudut menyapaku bersahabat, Penuh selaksa makna Terhanyut aku akan nostalgia Saat kita sering luangkan waktu Nikmati bersama suasana Jogja. Lantunan lagu dari Kla Project ini terus-menerus menabuh gendang telingaku dalam perjalanan dari Stasiun Pasar Senen, Jakarta, menuju Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Di dalam kereta tidak terlalu padat, mungkin karena belum waktu liburan. Tapi, aku tetap gak bisa tidur dengan nyenyak, karena posisi tidur di dalam kereta itu serba salah. Tidur sambil duduk, pegel. Tidur sambil rebahan, kaki bakal kesemutan karena ditekuk. Alhasil, hanya bisa tidur-tidur ayam. Perjalanan ini sendiri menempuh waktu 8 jam, jadi mending terus terjaga sambil mendengar musik. Sumber Terkenal sebagai kota yang masih lekat dengan tradisi, Yogya selalu ramai didatangi oleh turis, baik turis mancanegara maupun turis domestik seperti aku. Hal menarik lainnya adalah, harga mak