Langsung ke konten utama

Perjalanan Pertama di Jakarta: Menyusuri Ragunan


Bagi orang-orang yang tinggal di Jabodetabek, pagi itu dimulai dari jam 4 pagi sampai jam 6. Kalau udah di atas jam itu, artinya udah siang. Aku tau hal ini ketika dianter oleh seorang driver ojek online.

“Biasanya berangkat jam berapa, Mas?”
“Jam 9 pagi, Pak.”
“Wah, itu sih udah siang namanya. Bukan pagi lagi.”

Bagiku yang terbiasa mulai beraktivitas jam 8 pagi ketika di Medan, fakta ini membuatku sedikit kaget. Mungkin, memang begitulah kehidupan di kota-kota besar. Memulai kegiatan pagi-pagi sekali, dan berakhir saat sudah malam sekali.

Sebelum lanjut, baca cerita pembukaan perjalanan di Jakarta dulu, dong.

Oke lanjut...

Hari Minggu (15/4), aku pergi ke Kebun Binatang Ragunan untuk bertukar kabar dengan saudara-saudara kalian di sana. Aku pergi dengan ditemani oleh Abon dan Rebecca (biasa dipanggil Beca Motor). Mereka adalah teman-teman dunia maya yang kukenal dari sebuah grup misteri di Line. Hari itu, kami bertiga ngebolang mengelilingi Ragunan.

Untuk menuju ke sana, kami naik Busway. Berhubung aku gak punya e-money, aku nebeng pembayaran sama mereka. Aku dan Abon janjian ketemu di Stasiun Sudirman dan berjalan kaki ke halte busway Dukuh Atas. Soalnya, Beca bakal turun di situ dan katanya juga kalau mau ke Ragunan naiknya di halte itu. Sayangnya, mempercayai anak ini adalah suatu kesalahan. Karena, untuk menuju Ragunan harusnya naik di halte busway Dukuh Bawah yang letaknya dekat banget sama stasiun. Jadi, kami kembali berjalan kaki menuju arah stasiun.

Setelah busway datang, kami pun menempuh perjalanan sekitar satu jam menuju Ragunan. Beruntung, gak ada orang-orang bego yang menyerobot jalur busway, jadi perjalanan terbilang lancar. Setelah sampai di sana, para penjual tikar berebut mendatangi. Kalau kamu emang mau piknik dan lupa bawa tikar, kamu bisa membelinya di sini.

Sistem pembayaran cashless juga tampaknya hampir berlaku di setiap tempat di Jakarta. Di Ragunan, kamu tidak mendapatkan tiket berupa kertas. Tapi, harus membeli kartu khusus dan mengisi saldonya. Untuk anak-anak, harga tiketnya Rp 3000 dan untuk orang dewasa harganya Rp 4000. Cukup murah untuk tempat wisata populer di Jakarta. Setelah itu, tinggal nge-tap kartunya di gerbang masuk.

Mendatangi objek wisata populer di akhir pekan pastinya harus siap dengan pengunjung yang membludak. Di setiap sudut Ragunan, ada aja kelompok atau pasangan yang menggelar tikar dan tidur-tiduran di paha. Rasanya, pengen nelpon Kim Jong Un untuk ngerudal mereka.

Awalnya, aku kira Ragunan itu bisa dikelilingi dalam waktu dua jam saja. Ternyata, setelah sampai di sana aku baru tau kalau Ragunan itu luasnya 10 hektar. Kalau ditanam kelapa sawit semua, bisa jadi orang kaya mendadak tuh. Jadi, mustahil menikmati semuanya dalam waktu dua jam saja. Akhirnya, kami pun berkeliling sampai sore yang menyebabkan betis menjadi sekeras betisnya Ronaldo.


Ragunan sendiri terdiri dari berbagai zona yang dikelompokkan sesuai jenisnya. Kayak zona primata, zona burung, zona hewan buas dan juga friendzone. Hewan-hewan di sini juga terawat dengan baik, meskipun beberapa terlihat kotor karena tidak dimandikan. Seperti harimau dan singa. Mungkin petugasnya takut kalau itu adalah terakhir kali dia memandikan hewan.


Kocaknya, ketika melihat kandang beberapa jenis primata, ada seekor lutung yang ngeselin banget. Jadi, dia itu duduk santai di dekat pagar, sambil mamerin tititnya kemana-mana. Abon bahkan ngancem untuk nyentil itu titit. Bukannya takut, si Lutung makin mamerin tititnya. Mungkin dia penganut BDSM, jadi sangat menantikan tititnya disentil. Aku cuma khawatir aja dia bakal nyemburin cairan berbau pesing ke arah kami.




Di Ragunan juga ada beberapa delman yang bisa kamu sewa untuk berkeliling. Karena itu, kalau sedang berjalan kaki melewati jalur delman, kamu harus berhati-hati dengan “ranjau” (baca: eek kuda) yang berada di sepanjang jalur. Aku nyaris terkena ranjau mematikan ini.

Menyusuri Ragunan juga sebaiknya membuat checklist terlebih dahulu bagian apa saja yang mau kalian kunjungi. Karena, tempat ini tuh luas banget dan petunjuk jalannya rada susah dipahami. Jadi, kamu bisa muter-muter mulu di satu lokasi kalau gak bisa membaca petunjuk arah. Sayangnya, ketika berkunjung ke Ragunan, zona primata lagi ditutup. Jadi, aku gak bisa masuk dan menyapa saudara-saudara kalian.


Setelah capek jalan-jalan seharian, kamu pun mengisi tenaga dan juga mengisi baterai handphone di kantin. Makanannya variatif, dengan harga yang lumayan mahal menurutku. Rata-rata Rp 30 ribu. Setiap warung juga harganya sama aja, jadi gak usah capek-capek keliling untuk nyari harga paling murah.


Ragunan ditutup jam 5 sore. Jadi, sebaiknya kamu langsung bergegas menuju pintu keluar sebelum jam tersebut. Kecuali kamu pengen bermalam di kebun binatang seluas 10 hektar dengan potensi dipeluk sama ular malem-malem.

Perjalanan tahap pertamaku berakhir sampai di sini. Kalau kamu punya pertanyaan seputar Ragunan, silakan aja tanya ke petugas. Jangan tanya di kolom komentar di bawah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hobi yang Dibayar Tidak Semenyenangkan Itu

Dulu aku pikir pekerjaan yang paling membahagiakan di dunia itu adalah hobi yang dibayar. Karena, kita dibayar untuk melakukan sesuatu yang kita sukai. Pasti menyenangkan banget. Para motivator dan orang sukses pun mengamini hal ini. Sumber foto Tapi, seiring dengan berjalannya waktu, aku sadar kalau kalimat motivasi itu perlu sedikit diubah. Pekerjaan yang paling membahagiakan itu bukanlah hobi yang dibayar, tapi hobi yang dibayar dengan pantas. Melihat diriku yang sekarang ini, aku nggak menyangka kalau hobiku menulis sejak SMA akan menuntunku bekerja di salah satu media digital. Dari profesi ini aku bisa menafkahi kehidupanku. Hobi yang dibayar. Tapi, lama kelamaan aku sadar, kalau apa yang kuberikan tidak selalu sebanding dengan apa yang diberikan oleh perusahaan kepadaku. Aku baru menyadari kalau pekerja itu mempunyai beberapa hak yang harus disuarakan dengan lantang. Mulai dari jam kerja, uang lembur, waktu cuti, BPJS, dan masih banyak lagi. Tidak melulu hanya m

Menyingkap Tabir: Tipe Orang yang (Mungkin) Kamu Temui di Aplikasi Kencan

Beberapa hari terakhir ini aku lagi keranjingan banget mencoba dua aplikasi kencan, Tinder dan Badoo. Dua aplikasi ini emang udah lama banget eksis, tapi aku baru nyoba untuk pertama kali gara-gara racun seorang teman. Selain itu, aku penasaran juga dengan cara kerjanya apakah emang beneran bisa dapat teman kencan atau cuma gimmick doang? Apa nggak takut gitu ketemu dengan orang yang baru dikenal dan rentetan pertanyaan lainnya di dalam kepala. Aplikasi yang pertama aku download adalah Badoo. Bingung juga gimana cara menyebut aplikasi satu ini. Bado? Badu? Bedu? Kok malah jadi kayak nama artis di Indonesia? Jangan-jangan ini aplikasi untuk mencari pelawak terbaik lagi. Sementara untuk Tinder, yaa kamu tau sendirilah gimana nyebutnya. Kedua aplikasi ini menerapkan in app purchases , yang artinya penggunaannya gak gratis-gratis amat. Badoo dan Tinder memang memberikan fitur pengguna gratis, cuma dibatesin banget kayak lagi di Korea Utara. Bahkan, untuk sebatas meli

Yogyakarta Yang Benar-Benar Istimewa

Pulang ke kotamu Ada setangkup haru dalam rindu Masih seperti dulu Tiap sudut menyapaku bersahabat, Penuh selaksa makna Terhanyut aku akan nostalgia Saat kita sering luangkan waktu Nikmati bersama suasana Jogja. Lantunan lagu dari Kla Project ini terus-menerus menabuh gendang telingaku dalam perjalanan dari Stasiun Pasar Senen, Jakarta, menuju Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Di dalam kereta tidak terlalu padat, mungkin karena belum waktu liburan. Tapi, aku tetap gak bisa tidur dengan nyenyak, karena posisi tidur di dalam kereta itu serba salah. Tidur sambil duduk, pegel. Tidur sambil rebahan, kaki bakal kesemutan karena ditekuk. Alhasil, hanya bisa tidur-tidur ayam. Perjalanan ini sendiri menempuh waktu 8 jam, jadi mending terus terjaga sambil mendengar musik. Sumber Terkenal sebagai kota yang masih lekat dengan tradisi, Yogya selalu ramai didatangi oleh turis, baik turis mancanegara maupun turis domestik seperti aku. Hal menarik lainnya adalah, harga mak