Langsung ke konten utama

Perjalanan Ketiga: Indahnya Pertunjukan di Planetarium


Setelah beberapa hari di Jakarta, aku mulai kehabisan tujuan perjalanan untuk dikunjungi. Ada sih beberapa tujuan yang menarik seperti Seaworld atau Dufan, tapi harga tiket masuknya langsung membuat dompet melambaikan tangan ke kamera.

Untunglah, Imas menyarankan satu tempat lainnya yang bisa kukunjungi, yaitu Planetarium. Gak cuma ngasih saran doang, dia bahkan dengan senang hati menemaniku untuk jalan-jalan ke Planetarium. Sungguh penganut falsafah hidup “talk less do more”.

Akhirnya, pada hari Selasa (17/4), aku berangkat dari Stasiun Bekasi bersama dengan Imas menuju Stasiun Cikini. Pada hari itu, Jakarta dan Bekasi lagi dilanda hujan. Memang tidak seberapa deras, tapi cukup untuk membuatmu berlari menuju tempat berteduh. Kami pun berbasah-basahan menuju ke dalam Stasiun Bekasi.

Setelah sampai di Stasiun Cikini, kami berjalan kaki sekitar 500 meter menuju Planetarium. Untungnya lagi, Imas adalah seorang wanita tangguh yang menyukai berjalan kaki, jadi aku tidak perlu keluar uang untuk menyewa angkutan. Hehe. Bercanda, deng. Aku emang lagi pengen berkeliling sambil berjalan kaki, jadi syukur banget Imas termasuk penyuka berjalan kaki. Karna jalan kaki itu sehat. Menyehatkan badan, dan juga dompet.

Sesampainya di Planetarium, puluhan anak-anak kecil usia TK menyambut kami. Rupanya, mereka sedang berkunjung juga ke Planetarium. Hal ini patut disyukuri karena di hari biasa Planetarium tidak akan mengadakan pertunjukan kecuali ada rombongan banyak. Mereka hanya mengadakan pertunjukan di akhir pekan saja.

Dok. pribadi
Sayangnya, tiket pertunjukan untuk jam pertama sudah habis, jadi kami harus menunggu pertunjukan untuk jam berikutnya, yaitu jam 2. Padahal, kami sampai di Planetarium sekitar jam 10. Kami pun terpaksa ngejogrok di kursi antrian sembari menunggu panggilan. Kebetulan, tiket yang tersedia hanya 78 lagi, karena sisanya sudah diborong oleh rombongan anak TK tadi. Aku juga gak tau kenapa di hari itu, beberapa TK memutuskan untuk mengadakan perjalanan ke Planetarium. Udah pada janjian kali, ya.

Harga tiket planetarium adalah Rp 12.000 untuk orang dewasa dan Rp 7.000 untuk anak-anak. Sangat ramah di kantong.

Untunglah kegiatan menunggu pertunjukan tidak terlalu membosankan karena kami dihibur oleh tingkah puluhan anak TK yang hilir mudik kesana kemari. Ada yang main kejar-kejaran bareng temennya, ada yang main perosotan di tangga, ada yang masuk ke kolong kursi dan nyaris membuatku terlompat kaget. Betapa bahagianya menjadi anak TK yang masih belum mengenal sakitnya diberi harapan palsu.

Akhirnya, pertunjukan pun dimulai dan kami mulai berbaris menuju tempat pertunjukan di lantai dua. Ruang pertunjukannya sendiri berbentuk kubah dengan kursi-kursi berwarna merah yang ditata sedemikian rupa. Saran dariku, kalau mau menonton pertunjukan di Planetarium, sebaiknya kamu mengambil tempat duduk di belakang atau di tengah. Jangan duduk di depan kalau tidak mau lehermu kram saking terlalu sering mendongak.

Proyektor pertunjukan | Dok. pribadi


Pertunjukan Planetarium pada dasarnya memperlihatkan bagaimana kondisi bumi, Jakarta pada khususnya, jika tidak terpapar oleh polusi udara dan polusi cahaya. Ketika kedua polusi itu dihilangkan, sebuah momen epik di mana bintang-bintang muncul dan menghiasi langit malam. Seisi ruangan pun bertepuk tangan dengan heboh ketika menyaksikan fenomena tersebut. Menjadi bukti kalau sebenarnya kita kangen melihat bintang, apalagi di Jakarta.

Kira-kira, seperti adegan di film The Croods ini | Sumber
Pertunjukan Planetarium juga mengajari mengenai sistem Tata Surya, kemunculan benda-benda langit, letak rasi-rasi bintang (aku langsung mencari tau bagaimana bentuk rasi bintangku), dan juga mengajari secara tidak langsung bagaimana para pelaut menentukan arah hanya dengan bermodalkan bintang sebagai alat navigasi. Tapi, kalau kamu merupakan penganut bumi datar, pertunjukan ini hanya akan membuatmu mempertanyakan eksistensi hidup, jadi mending gak usah nonton.

Oh ya, karena pertunjukannya dilakukan dengan mematikan lampu seperti di bioskop, kamu sebaiknya tidak memainkan ponsel selama pertunjukan demi mengambil foto-foto kece. Karena, cahayanya bakal mengganggu pengunjung lain dan narator juga tak akan melanjutkan pertunjukan kalau ada yang ngeyel main ponsel. Nikmati sajalah pertunjukannya.

Tapi, karena menatap perputaran bintang terus menerus, aku merasa pusing dan malah tertidur beberapa menit. Apalagi, narasi dari petugasnya benar-benar meninabobokan. Untungnya, aku gak tertidur sepanjang acara. Pertunjukan ini sendiri memakan waktu sekitar 45 menit dan para pengunjung pun keluar dengan hati bahagia, karena setidaknya sekali dalam hidup, mereka telah menyaksikan bagaimana kondisi langit malam yang penuh bintang.

Planetarium tidak hanya menyajikan pertunjukan doang, tapi mempunyai beberapa ruang pameran. Seperti ruangan miniatur satelit, miniatur roket, ruang film sejarah eksplorasi luar angkasa oleh manusia, baju yang digunakan oleh para astronot, serta ruang astrologi.


Dok. pribadi

Setelah puas berkeliling, kami pun mengisi perut dulu di KFC dekat Stasiun Cikini sambil menunggu Yoga datang. Yoga juga salah satu teman dunia maya yang kukenal lewat aktivitas ngeblog. Kalau selama ini kami hanya bercakap-cakap di Twitter, akhirnya bisa ngobrol bareng. Sayangnya, karena jam udah menunjukkan pukul 4 sore, kami gak mungkin lagi mengunjungi beberapa museum, karena sudah mendekati jam tutup. Akhirnya, kami hanya nongkrong doang di Kota Tua sambil ngobrol.

Kota Tua di waktu malam ternyata tetep rame banget dan buat jomblo siap-siap aja merasa panas mata karena para pasangan disini tidak segan-segan mengumbar kemesraan. Kamu juga harus pinter-pinter memilih lokasi duduk kalau tidak mau “dipalak” berulang kali sama para pengamen yang terus menerus datang.

Hari itu pun berakhir dengan memuaskan dan memberikan aku banyak pengalaman baru. Menjalin hubungan di dunia maya benar-benar bisa memberikan manfaat kalau dipraktekkan secara positif.

Sekian ceritaku mengelilingi Kota Jakarta. Nantikan cerita berikutnya mengenai perjalananku di Kepulauan Seribu, ya.

Salam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hobi yang Dibayar Tidak Semenyenangkan Itu

Dulu aku pikir pekerjaan yang paling membahagiakan di dunia itu adalah hobi yang dibayar. Karena, kita dibayar untuk melakukan sesuatu yang kita sukai. Pasti menyenangkan banget. Para motivator dan orang sukses pun mengamini hal ini. Sumber foto Tapi, seiring dengan berjalannya waktu, aku sadar kalau kalimat motivasi itu perlu sedikit diubah. Pekerjaan yang paling membahagiakan itu bukanlah hobi yang dibayar, tapi hobi yang dibayar dengan pantas. Melihat diriku yang sekarang ini, aku nggak menyangka kalau hobiku menulis sejak SMA akan menuntunku bekerja di salah satu media digital. Dari profesi ini aku bisa menafkahi kehidupanku. Hobi yang dibayar. Tapi, lama kelamaan aku sadar, kalau apa yang kuberikan tidak selalu sebanding dengan apa yang diberikan oleh perusahaan kepadaku. Aku baru menyadari kalau pekerja itu mempunyai beberapa hak yang harus disuarakan dengan lantang. Mulai dari jam kerja, uang lembur, waktu cuti, BPJS, dan masih banyak lagi. Tidak melulu hanya m

Menyingkap Tabir: Tipe Orang yang (Mungkin) Kamu Temui di Aplikasi Kencan

Beberapa hari terakhir ini aku lagi keranjingan banget mencoba dua aplikasi kencan, Tinder dan Badoo. Dua aplikasi ini emang udah lama banget eksis, tapi aku baru nyoba untuk pertama kali gara-gara racun seorang teman. Selain itu, aku penasaran juga dengan cara kerjanya apakah emang beneran bisa dapat teman kencan atau cuma gimmick doang? Apa nggak takut gitu ketemu dengan orang yang baru dikenal dan rentetan pertanyaan lainnya di dalam kepala. Aplikasi yang pertama aku download adalah Badoo. Bingung juga gimana cara menyebut aplikasi satu ini. Bado? Badu? Bedu? Kok malah jadi kayak nama artis di Indonesia? Jangan-jangan ini aplikasi untuk mencari pelawak terbaik lagi. Sementara untuk Tinder, yaa kamu tau sendirilah gimana nyebutnya. Kedua aplikasi ini menerapkan in app purchases , yang artinya penggunaannya gak gratis-gratis amat. Badoo dan Tinder memang memberikan fitur pengguna gratis, cuma dibatesin banget kayak lagi di Korea Utara. Bahkan, untuk sebatas meli

Yogyakarta Yang Benar-Benar Istimewa

Pulang ke kotamu Ada setangkup haru dalam rindu Masih seperti dulu Tiap sudut menyapaku bersahabat, Penuh selaksa makna Terhanyut aku akan nostalgia Saat kita sering luangkan waktu Nikmati bersama suasana Jogja. Lantunan lagu dari Kla Project ini terus-menerus menabuh gendang telingaku dalam perjalanan dari Stasiun Pasar Senen, Jakarta, menuju Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Di dalam kereta tidak terlalu padat, mungkin karena belum waktu liburan. Tapi, aku tetap gak bisa tidur dengan nyenyak, karena posisi tidur di dalam kereta itu serba salah. Tidur sambil duduk, pegel. Tidur sambil rebahan, kaki bakal kesemutan karena ditekuk. Alhasil, hanya bisa tidur-tidur ayam. Perjalanan ini sendiri menempuh waktu 8 jam, jadi mending terus terjaga sambil mendengar musik. Sumber Terkenal sebagai kota yang masih lekat dengan tradisi, Yogya selalu ramai didatangi oleh turis, baik turis mancanegara maupun turis domestik seperti aku. Hal menarik lainnya adalah, harga mak