Kalau membaca
cerita-ceritaku sebelumnya, kamu mungkin berpikir kalau Jakarta itu adalah kota
yang mengerikan, penuh polusi dan juga kemacetan tiada banding. Ya, emang, sih.
Tapi, gak perlu bersedih
apalagi sampai menyalahkan Jokowi, karena di Jakarta kamu ternyata bisa
menikmati pantai lembut dengan lautan yang biru jernih, loh. Ini bukan hoax.
Dok. Pribadi
Keindahan ini dapat kamu
temukan di Kepulauan Seribu. Untuk mencapai daerah yang masih termasuk dalam
wilayah DKI Jakarta ini, kamu bisa menaiki kapal. Bisa naik kapal jet, atau
naik kapal kayu. Perbedaannya terletak pada harga dan juga kecepatan tempuh.
Kalau mau lebih anti mainstream, kamu bisa naik Perahu Kertas. Bareng Maudy Ayunda.
Sebelumnya, aku udah
pernah ke Kepulauan Seribu, tepatnya di Pulau Harapan, pada bulan Desember
kemarin. Sekarang, aku pengen menjajal pulau yang berbeda, yaitu Pulau Pari.
Kalo kata guidenya, sih, pulau satu ini masih asri banget. Dan gak terlalu
ramai dikunjungin. Yang sepi-sepi emang lebih enak.
Akhirnya, pada hari Jumat
(20/4/2018), aku berangkat ke Pulau Pari dengan naik kapal kayu. Biaya kapalnya
Rp 110.000 untuk pulang pergi. Aku udah berada di Pelabuhan Kaliadem pukul
06.30, karena kata guidenya kapal akan berangkat jam 07.30. Eh, taunya
keberangkatan malah molor sampe jam 08.00. Kalau maskapai singa bikin perjalanan
laut, mungkin seperti inilah bentuknya.
Perjalanan menuju Pulau
Pari dari Pelabuhan Kaliadem memakan waktu sekitar dua jam. Kalau kamu orangnya
gampang mabuk laut, aku saranin minum obat anti mabuk dulu, deh. Daripada ntar
kamu muntah-muntah di kapal karena gak tahan dengan goyangan dan juga aroma
kapal yang semerbak.
Selagi menunggu kapal
berlabuh, kamu bisa mengisi waktu dengan tidur, update stories Instagram,
berkenalan dengan penumpang lain, jualan asongan, cabut bulu hidung nahkodanya..
Banyak deh yang bisa kamu lakuin. Yang penting jangan sampai jatuh tercebur,
ya.
Ketika udah sampai di
Pulau Pari, kamu akan langsung disambut dengan biru jernihnya air laut, dan di
tempat yang agak dangkal, warna air laut berubah menjadi hijau. Keren deh
pokoknya. Tapi, keindahan ini masih awal. Masih ada beberapa keindahan lain
yang bisa kamu nikmati.
Setelah kapal berlabuh,
aku langsung dianter oleh guide ke homestay untuk beristirahat sejenak. Setelah
tidur dan mandi, aku langsung menghubungi guidenya untuk mulai bertualang. Dia
pun langsung mampir ke homestay sambil membawa sepeda. Yap, di sini kamu bisa
menjelajahi pulau dengan naik sepeda yang banyak disewakan oleh penduduk. Jadi,
daripada jalan kaki, mending naik sepeda gitu. Sensasinya asik, kok. Jadi
nostalgia dengan kenangan masa dulu ketika masih bocah dan sepedaan
kemana-mana.
Dok. Pribadi
Kamu juga bisa berpapasan
dengan bule-bule kocak yang naik sepeda sambil membuka baju (bulenya cowok).
Mungkin dia pengen mendapatkan kulit coklat yang lebih merata. Atau mungkin dia
mau pamer sixpack. Entahlah. Ada juga bule cewek yang cuma make bikini doang.
Makanya, pastikan kamu selalu memakai kacamata hitam supaya tidak ketahuan
kalau lagi ngelirik ke arah mereka.
Supaya kamu bisa tetap
lancar internetan, aku saranin make XL atau Telkomsel ketika ke Kepulauan
Seribu. Soalnya, operator selain dua di atas lebih sering hilang sinyal. Yah,
kecuali kamu emang bener-bener mau putus kontak dengan dunia luar selama
beberapa hari.
Di perjalanan kali ini,
guide membawa kami ke Pantai Perawan. Pantai yang sebenarnya gak
perawan-perawan banget karena udah dinodai dengan kehadiran banyak turis dari
lama. Ini pantai kalau hamil dan melahirkan anak, pasti bingung ayahnya yang
mana.
Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Karena aku datangnya hari
Jumat, suasana pantai tidak terlalu ramai. Jadi, masih bisa foto-foto tanpa
harus terhalang oleh orang lain. Di pantai ini ada beberapa spot foto kece.
Seperti ayunan gede dan gazebo yang berada agak di tengah laut. Kalau kamu mau
meluangkan waktu untuk menjelajah hingga ke ujung pulau, kamu juga akan
menemukan spot foto yang bagus dan jarang didatangi sama orang. Sayangnya, di
titik ini kamu tidak bisa menyaksikan sunset. Tapi, jangan keburu kecewa dulu,
karena kamu masih bisa menyaksikan sunrise yang keren di spot ini. Cuma, kamu
harus bangun pagi supaya bisa menyaksikannya. Atau, kamu sekalian ngecamp aja
di pinggir pantai. Itung-itung mengurangi budget penginapan juga.
Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Setelah puas jalan-jalan
dan berfoto, guide mengantarkan ke kedai makan. Karena akses distribusi bahan
makanan agak terbatas, pilihan makanan di Pulau Pari juga tidak terlalu banyak.
Hanya bakso, mie ayam, nasi goreng, mie goreng, dan juga mie kuah. Ada satu hal
yang bikin aku bingung di sini. Kalau di Medan, mie goreng akan disajikan
dengan kondisi telah diaduk merata dengan bumbu. Tapi, di Pulau Pari, indomi
gorengnya disajikan tidak dalam kondisi telah diaduk. Pembeli yang mengaduknya
sendiri. Belakangan, aku baru tau kalau di beberapa daerah di Pulau Jawa, cara
menyajikannya emang seperti itu.
Setelah makan, aku
kembali ke homestay dan beristirahat. Besoknya, aku berencana pengen ngeliat sunrise,
tapi karena kondisi cuaca tidak mendukung, akhirnya aku menarik selimut dan
kembali melanjutkan tidur. Sekitar jam 10 pagi, guide datang dan mengajak ke
Pulau Payung. Katanya, sih, pulau ini juga jarang dikunjungin tapi masih asri
banget. Kami pun berangkat ke sana dengan naik kapal kayu yang lebih kecil.
Mirip kapal nelayan gitu. Perjalanan tempuhnya sekitar satu jam. Dalam
perjalanan ini, aku membayangkan gimana rasanya menjadi pelaut di zaman dulu
seperti yang dilakukan oleh nenek moyang kita. Kondisi ombak juga terbilang
tenang, gak seperti ketika aku berkunjung di bulan Desember. Saat itu ombaknya
benar-benar gila banget. Saranku, kalau mau ke Pulau Seribu dan berniat menjelajah
pulau lain, datanglah pada bulan Maret atau April, karena kondisi ombaknya
bersahabat.
Dok. Pribadi
Aku sampai di Pulau
Payung sekitar jam 12 gitu. Masih terik banget. Gak cocok untuk foto-foto.
Jadi, aku nyari spot yang adem untuk tiduran beberapa menit. Dari keterangan guide
sebelumnya, Pulau Payung ini punya spot foto dan juga lokasi berenang yang oke.
Tapi, ternyata spot tersebut berada di area private yang gak bisa dimasuki
sembarangan orang. Aku pun rada dongkol setelah tau informasi ini. Ngapain
jauh-jauh datang ke sini hanya untuk ngeliatin area keren dari luar pagar.
Jadi, aku hanya
berkeliling pulau sambil berharap akan menemukan spot-spot yang lebih bagus. Tapi,
kekecewaan terus berlipat. Pulau Payung ini hanya keliatan bagus di bagian
depan saja. Di bagian belakang malah dipenuhi dengan tumbuhan air dan juga
sampah. Gak keurus banget.
Dok. Pribadi
Tapi, karena gak mau perjalanan ini jadi sia-sia,
aku terus berjalan memutari pulau tersebut. Dan emang gak sia-sia, karena
setelah sampai di area yang katanya private tadi, pemandangannya emang keren banget.
Lautnya berwarna hijau dan biru jernih, hanya pantainya agak sedikit kotor. Jadi,
area private ini hanya dipagari di bagian depan, sementara di bagian belakang
dibiarkan. Mungkin, pengelola berpikir gak akan ada orang yang mau berjalan
lewat bagian belakang karena aksesnya yang susah banget.
Dok. Pribadi
Karena terpesona dengan
kecantikan lautnya, aku pun langsung terjun berenang. Lebih tepatnya, main-main
air sih. Soalnya, aku gak bisa berenang ☹.
Sebenarnya, ada nemu life jacket bekas gitu. Tapi, pas dipake malah makin
menjerat leher dan aku nyaris tenggelam. Life jacket bekas ternyata bisa
berbalik mencelakakan nyawa.
Dok. Pribadi
Karena aku masuk tanpa
izin di area private, aku sempat deg-degan bakal diusir. Apalagi orang yang
lagi berlibur di sini tengah asyik menembak burung di pepohonan. Ntar
berikutnya malah burungku yang kena tembak. Kan serem ☹.
Setelah puas foto-foto
dan main air, aku lalu mengemasi barang dan menuju warung untuk mengisi perut.
Sebenarnya, aku berniat menunggu sunset di pulau ini, tapi guide tidak
menyarankannya. Karena, ombak setelah selesai maghrib biasanya agak ganas. Udah
ada beberapa kasus kapal yang malah menabrak karang. Aku pun pulang dari Pulau
Payung sekitar jam 4 dan sampai di Pulau Pari sekitar setengah 6 sore. Untungnya,
di tempat kapal berlabuh, sunset masih keliatan. Jadi, sempat mengabadikan
beberapa foto keren.
Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Di waktu malam, tidak
terlalu banyak kegiatan di Pulau Pari. Aku sendiri hanya bersantai di hammock
yang banyak berada di pinggiran pantai sambil menulis artikel dan cerita
perjalanan. Kalau kamu pengen minum minuman hangat, bisa memesan minuman di
warung yang rata-rata tutup sekitar jam 11 malam.
Selain di Pantai Perawan,
masih ada dua pantai lain di Pulau Pari, yaitu Pantai Bintang dan Pantai LIPI.
Cuma, kondisinya memang gak sebagus di Pantai Perawan. Terkesan biasa aja. Ke
Pantai Bintang enaknya kalau pengen santai aja di sore hari sambil
tidur-tiduran di hammock.
Dok. Pribadi
Pantai Bintang | Dok. Pribadi
Kalau kamu tertarik untuk
menginap di Pulau Pari, ini beberapa tarif yang bisa kamu jadikan referensi
untuk menyusun budget.
Kapal PP Kaliadem - Pulau Pari = Rp 120 ribu
Homestay = Rp 400 ribu
per malam
Guide= Rp 300 ribu
Penyewaan kapal wisata
untuk jelajah pulau lain = Rp 400 ribu
Sepeda = Rp 20 ribu per
hari.
Jadi, supaya lebih murah,
mending kamu kesini ramai-ramai bersama teman supaya bisa menekan budget
penginapan dan juga penyewaan kapal wisata. Kalau gak mau ribet nyari makan,
kamu juga bisa memilih paket yang ada tambahan makanan dan air mineral. Kalau
doyan snorkeling, kamu juga bisa menyewa peralatannya dari guide. Cuma, karena
aku gak menyewa peralatan snorkeling, aku gak tau berapa kisaran harganya.
Yak, dengan begini
perjalananku untuk wilayah DKI Jakarta berakhir. Tunggu ceritaku mengenai
perjalanan di Jogjakarta ya.
Komentar
Posting Komentar